Pada 30 Mei 2024, Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan ini menjadi dasar hukum bagi Pemerintah untuk memberi izin bagi ormas keagamaan dalam rangka mengelola lahan tambang di Indonesia dengan dalih untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan umat.
“Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.” merupakan bunyi dari Pasal 83A (1) PP 25 tahun 2024 yang menjadi landasan bagi pemerintah dalam membuka izin tambang bagi ormas keagamaan di Indonesia.
Pelibatan organisasi keagamaan dalam mengurus konsesi lahan pertambangan memunculkan diskursus tentang peran ormas keagamaan dalam menjaga moral dan etika bangsa, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Jauh sebelum peraturan ini diresmikan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, yang mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi (penggundulan hutan), dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim. Dalam pertimbangannya, MUI juga mengutip surat Al-Baqarah ayat 60 yang berbunyi “Makan dan Minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan membuat kerusakan.” Seharusnya kutipan ayat ini menjadi bahan refleksi bagi para ormas keagamaan dalam mempertimbangkan tawaran dari pemerintah terkait izin usaha tambang.
Bagaimana Dampak Industri Ekstraktif di Indonesia?
image: anakteknik.co.id
Penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) dalam laporan berjudul "Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif" mengungkapkan berbagai dampak negatif yang dihasilkan oleh industri ekstraktif, khususnya tambang, terhadap masyarakat dan lingkungan di Indonesia. Industri ekstraktif telah menyebabkan penurunan kualitas pendidikan di daerah sekitar tambang. Anak-anak dan remaja di daerah ini sering kali harus berhadapan dengan kondisi sekolah yang buruk, kekurangan guru, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang layak.
Selain itu, masyarakat di daerah sekitar tambang juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan air bersih. Polusi air yang disebabkan oleh limbah tambang mengakibatkan sumber air menjadi tercemar dan tidak layak konsumsi. Kondisi ini memaksa warga untuk mencari sumber air alternatif yang seringkali jauh dari tempat tinggal mereka, meningkatkan beban hidup sehari-hari.
Akses terhadap pelayanan kesehatan juga menjadi masalah serius di wilayah pertambangan. Dampak lingkungan dari operasi tambang, seperti polusi udara dan air, berkontribusi pada meningkatnya kasus penyakit pernapasan dan kulit. Namun, fasilitas kesehatan yang memadai sering kali tidak tersedia, sehingga masyarakat harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan perawatan medis yang layak.
Lebih lanjut, daerah sekitar tambang menjadi lebih rentan terhadap bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan. Penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang mengurangi kemampuan alam untuk menyerap air hujan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko banjir. Di sisi lain, pengeringan lahan hutan meningkatkan risiko kebakaran hutan yang dapat merusak ekosistem dan mempengaruhi kualitas udara.
Pengembangan usaha kecil dan mikro di daerah ini juga mengalami hambatan signifikan. Dominasi industri tambang menghambat pertumbuhan sektor ekonomi lainnya karena sumber daya lokal, seperti tenaga kerja dan modal, lebih banyak tersedot ke industri ekstraktif. Akibatnya, diversifikasi ekonomi menjadi sulit, dan ketergantungan terhadap sektor tambang semakin kuat, yang dapat mengurangi ketahanan ekonomi masyarakat setempat dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa meskipun industri ekstraktif mungkin memberikan keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya jauh lebih merugikan bagi masyarakat setempat, menciptakan kesejahteraan semu yang tidak berkelanjutan.
“Organisasi keagamaan sepatutnya berada bersama umatnya, yang pada pengalamannya sering menjadi korban dari industri tambang, dan buka malah berada di sisi pelaku industri, dan menjadi bagian dari praktiknya. Kalau nanti ada bentrok kepentingan, lalu dimana mereka akan berpihak ketika mereka jadi bagian dari pelaku industri?” mengutip pernyataan dari Inaya Wahid, Jaringan Gusdurian
Mengutip dari CNN Indnesia, sejumlah ormas keagaman telah mengeluarkan sikap dalam rangka merespons kebijakan pemerintah yang telah disahkan. PBNU, Persis, PHDI dan disusul oleh Muhammadiyah (setelah melakukan kajian) memutuskan untuk menerima tawaran izin tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan, KWI, HKBP dan PGI menolak tawaran tersebut dengan dasar diluar kemampuan dan ranah kerja organisasi tersebut serta tidak ingin merusak kondisi lingkungan alam sekitar.
Bagaimana seharusnya pemerintah dan ormas keagamaan bersikap?
Alih-alih terus memberikan izin usaha bagi industri pertambangan yang terbukti lebih banyak memberikan mudharat daripada manfaat, seharusnya pemerintah Indonesia mengambil langkah yang lebih proaktif dalam mendorong pengelolaan sektor energi terbarukan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan memfasilitasi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan energi terbarukan. Langkah ini tidak hanya sejalan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendorong pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan, tetapi juga relevan dengan tujuan pemerintah dalam program zero emission pada tahun 2060.
Melibatkan ormas keagamaan dalam pengelolaan energi terbarukan memiliki beberapa keuntungan strategis. Pertama, ormas keagamaan memiliki basis komunitas yang kuat dan luas, yang dapat dimobilisasi untuk mendukung proyek-proyek energi terbarukan. Dengan dukungan dari komunitas, penerapan teknologi energi terbarukan seperti panel surya, turbin angin, dan bioenergi bisa lebih mudah diterima dan diadopsi oleh masyarakat. Kedua, ormas keagamaan memiliki pengaruh moral dan etis yang signifikan, yang dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Selain itu, dengan melibatkan ormas keagamaan, pemerintah dapat memastikan bahwa proyek-proyek energi terbarukan dijalankan dengan prinsip-prinsip yang adil dan berkelanjutan. Ormas keagamaan biasanya memiliki komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial dan kesejahteraan bersama, yang sangat penting dalam memastikan bahwa manfaat dari pengembangan energi terbarukan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan oleh kegiatan industri ekstraktif.
Dengan demikian, langkah untuk memfasilitasi ormas keagamaan dalam pengelolaan energi terbarukan bukan hanya sebuah alternatif yang lebih baik, tetapi juga sebuah strategi yang integral untuk mencapai target zero emission di tahun 2060. Ini akan menjadi bukti nyata bahwa pemerintah serius dalam mengatasi krisis iklim dan berkomitmen untuk menciptakan masa depan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
0 Komentar