Pulau Kabaena memiliki luas sebesar 837 km², yang terletak di antara Sulawesi Tenggara, Pulau Muna, dan Laut Banda. Pulau ini dulunya dikenal sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati laut yang melimpah. Dihuni mayoritas oleh Suku Moronene dan Suku Bajau, pulau ini berfungsi sebagai penyangga ekosistem bawah laut yang vital. Namun, saat ini Kabaena menghadapi krisis ekologis dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius akibat eksploitasi tambang nikel. 

    Sejak dua puluh tahun lalu, Kabaena dikenal dengan terumbu karangnya yang menakjubkan. Namun, kini 75% dari luas tanahnya telah dibebani izin tambang nikel, dengan 25 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sebagian besar dikeluarkan setelah 2014, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 melarang eksploitasi di pulau kecil. Tambang-tambang ini telah menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem pulau.

Dampak Lingkungan Akibat Eksploitasi Tambang Nikel di Kabaena

    Eksploitasi tambang nikel di Kabaena telah menyebabkan dampak lingkungan yang serius. Salah satu perubahan paling mencolok adalah perubahan warna air laut di sekitar Kabaena, terutama di Desa Baliara, yang telah berubah menjadi coklat kemerahan sejak sepuluh tahun lalu. Pencemaran ini tidak hanya merusak keindahan laut tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat setempat. Penurunan kualitas perikanan menyulitkan Suku Bajau untuk menemukan makanan yang bebas dari kontaminasi logam berat. 

    Kontak langsung dengan air laut yang tercemar limbah tambang menyebabkan gangguan kesehatan serius di kalangan warga Kabaena, terutama Suku Bajau. Banyak dari mereka mengalami penyakit kulit seperti ruam dan infeksi akibat paparan logam berat dan bahan kimia berbahaya. Kondisi ini memperburuk kualitas hidup mereka dan menambah beban kesehatan yang sudah berat akibat kerusakan lingkungan dan dampak ekonomi. 

    Selain itu, mengonsumsi makanan yang terkontaminasi logam berat akibat limbah tambang nikel dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Paparan logam berat seperti nikel, kadmium, dan merkuri dapat merusak organ tubuh, mengganggu fungsi ginjal dan hati, serta meningkatkan risiko kanker. Selain itu, paparan ini dapat mempengaruhi sistem saraf, mengganggu perkembangan anak-anak, dan melemahkan sistem kekebalan tubuh.

Dampak Sosial Akibat Eksploitasi Tambang Nikel di Kabaena

    Eksploitasi tambang nikel di Kabaena tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga mengubah kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat secara drastis. Nelayan yang dulu bisa mencari ikan dekat rumah kini harus pergi hingga 20 mil ke laut lepas. Mereka harus mengeluarkan hingga 15 liter solar untuk melaut, dibandingkan dengan hanya 2 liter sebelumnya. Peningkatan biaya ini akibat kerusakan ekosistem laut semakin memberatkan ekonomi mereka, menyebabkan sejumlah nelayan terjerat utang. Banyak nelayan terpaksa beralih bekerja di tambang nikel dengan upah rendah dan tanpa jaminan kesehatan.

    Lebih lanjut, laut yang tercemar juga berdampak pada budaya Suku Bajau. Anak-anak suku Bajau, yang dikenal dengan kemampuan menyelam hingga 13 menit di kedalaman 70 meter tanpa alat bantu, kini tidak lagi bisa menikmati laut karena tercemar limbah tambang. Kerusakan lingkungan telah menghapus salah satu kemampuan esensial dan warisan budaya unik mereka. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius, yang menambah penderitaan mereka yang sudah tertekan oleh kerusakan lingkungan dan dampak ekonomi.

    Masalah yang dihadapi Kabaena bukanlah kasus tunggal. Pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia juga terancam oleh eksploitasi tambang dan kerusakan lingkungan. Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur menghadapi masalah deforestasi dan penambangan ilegal, Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara terancam oleh aktivitas tambang nikel, dan Pulau Seram di Maluku mengalami kerusakan ekosistem akibat penambangan emas. Hal ini menunjukkan betapa mendesaknya perlunya perlindungan untuk pulau-pulau kecil di seluruh negeri.

    Dalam melindungi Pulau Kabaena dan pulau-pulau kecil lainnya, pemerintah harus segera bertindak. Kasus ini telah merugikan negara hingga Rp 4,3 triliun akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta pola pikir koruptif pejabat publik. Pemerintah perlu menegakkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil demi melindungi lingkungan dan hak asasi manusia. 

    Mari kita bersama-sama meningkatkan kesadaran dan mendukung perlindungan pulau-pulau kecil kita! Bagikan artikel ini, dukung kampanye pelestarian, dan tekan pemerintah untuk bertindak. Masa depan Pulau Kabaena dan pulau-pulau lainnya ada di tangan kita!